Keistimewaan Ibadah Haji: Perjalanan Menuju Kepasrahan Sejati

Dr. Suaib Tahir, Lc, MA (Sekjen PB DDI)

Ketika seorang jamaah memulai ibadah haji, langkah pertamanya adalah berniat dan mengenakan pakaian ihram di miqat. Pada saat itulah, ia seolah melepaskan segala atribut duniawi dan memasuki dimensi spiritual yang mendalam, dengan satu tujuan: memenuhi panggilan Ilahi. Talbiyah pun mulai bergema dari lisannya:

Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk, laa syarika lak.”

Artinya: “Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”

Lafal talbiyah yang singkat ini sejatinya mengandung makna penyerahan total seorang hamba kepada Tuhannya. Saat kain ihram dikenakan, seseorang tidak lagi membawa identitas sosial, tidak pula simbol-simbol duniawi. Yang tersisa hanyalah kehambaan yang tulus, dan pengakuan bahwa dirinya hanyalah makhluk yang lemah di hadapan Sang Maha Kuasa.

Ibadah haji memang memiliki keistimewaan tersendiri. Tidak ada bacaan-bacaan wajib tertentu yang panjang seperti dalam salat, tetapi haji memiliki rangkaian amalan yang sangat khas dan terstruktur, seperti mengenakan ihram, mabit di Mina dan Muzdalifah, melempar jumrah di Jamarat, tawaf, hingga wukuf di Arafah.

Berbeda dari ibadah salat atau puasa yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, haji memiliki waktu dan tempat yang ditetapkan langsung oleh syariat. Allah berfirman:

Al-ḥajju asyhurum maʿlūmāt
Artinya : “(Ibadah) Haji itu dilakukan pada bulan-bulan yang telah diketahui.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Meskipun demikian, setiap jamaah haji harus benar-benar memahami tata cara ibadah ini, mulai dari niat hingga tahallul. Prosedur ini ibarat standar operasional ibadah haji yang telah ditetapkan oleh syariat. Jika ada kekeliruan dalam menjalankannya, bisa dikenai sanksi berupa dam atau fidyah.

Karena itu, jamaah haji Indonesia dibekali dengan bimbingan sebelum keberangkatan, baik oleh Kementerian Agama maupun oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU). Setibanya di Tanah Suci, bimbingan terus diberikan oleh para petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH). Ini penting, apalagi sebagian besar jamaah kita berasal dari daerah dan sudah lanjut usia, sehingga membutuhkan pendampingan yang intens baik secara fisik maupun spiritual keagamaan.

Pemerintah Indonesia pun memberikan perhatian yang tinggi terhadap penyelenggaraan haji. Sebab, haji bukan hanya ibadah individu, melainkan juga amanah kolektif bangsa. Pelayanan yang baik dan sistematis menjadi jalan untuk memastikan bahwa setiap jamaah bisa melaksanakan ibadah dengan khusyuk dan meraih tujuan tertinggi dari haji: menjadi haji yang mabrur.

Haji yang mabrur bukan hanya soal sahnya ibadah secara syariat, tetapi juga menyangkut transformasi diri. Ia adalah buah dari kesungguhan spiritual yang membekas dalam sikap hidup. Seorang haji yang mabrur akan pulang sebagai pribadi yang lebih tawadhu, sabar, dan peduli terhadap sesama. Ia akan menjadi teladan dalam masyarakat, bukan hanya dalam hal ibadah, tetapi juga dalam sikap sosial.

Inilah puncak dari keistimewaan haji—saat ibadah yang dikerjakan bukan hanya menjadikan seseorang lebih dekat dengan Tuhan, tetapi juga lebih bermanfaat bagi manusia.

Semoga setiap jamaah haji Indonesia yang menapaki tanah suci benar-benar mampu kembali sebagai insan yang utuh—taat secara spiritual dan luhur dalam sikap sosial. Karena haji sejatinya bukan hanya perjalanan ke Baitullah, tetapi juga perjalanan pulang menuju fitrah kemanusiaan yang sejati.

About rizkayadi sjukri